The Power Of Giving
Kisah Nyata
Ini dialami langsung seseorang sebut saja, Budi. Pria berusia 30 tahun ini, mengalami kejadian luar biasa yang menyadarkannya akan sebuah nilai. Nilai bahwa manusia sesungguhnya butuh memberi.
Ceritanya, di suatu siang itu Budi ijin keluar kantor, ia bermaksud mengurus surat-surat pernikahan. Dia memang ingin menikah, pengangkatannya dari karywan honorer menjadi karyawan kontrak di kantornya, membuatnya segera memutuskan menikah. Kebetulan KUA (Kantor Urusan Agama=Lembaga perkawinan Negara) dekat dengan kantornya, sehingga ia berani meminta ijin sebentar kepada atasannya untuk mengurus surat pernikahan.
Setelah urusannya di KUA selesai, Budi berniat kembali ke kantor, ia menunggu kendaraan umum di sebuah halte. Saat sedang menunggu, di seberang jalan ia melihat seorang lelaki berjaket dan berhelm hitam turun dari motor sembari membawa sebuah benda dibungkus kertas koran. Lelaki itu berjalan menghampiri seorang pengendara motor lain. Kebetulan saat itu sedang lampu merah.
Begitu sudah mendekat, tiba-tiba ia mengayunkan benda dibungkus koran tersebut berkali-kali ke tubuh si pengendara motor, belakangan baru diketahui benda itu adalah sebilah golok. Orang itu membacok dengan membabi buta, rupanya orang tersebut ingin merampok dan mengincar tas yang dibawa si pengendara motor.
Melihat itu Budi berteriak histeris, ia mencari alat sekedar untuk menghentikan perampokan. Tapi apa mau dikata, saat itu arus lalin di depannya sedang hijau, kebalikan dari arus lalin di titik perampokan sedang merah. Perampokan itu berjalan cepat dan sukses. Si perampok berhasil kabur membawa hasil rampokan, tas berisi uang tunai 50 juta rupiah.
Sementara korban tergolek lemah di trotoar sambil mengerang kesakitan. Lengannya terluka parah. Jari-jarinya terjuntai hampir putus, pangkal lengannya luka menganga ditambah beberapa bacokan sepanjang lengan yang meninggalkan sobekan panjang. Darah mengucur deras seperti air kran. Orang-orang hanya diam melongo, barangkali terkesiap melihat luka yang demikian parahnya.
Budi mengambil tindakan, ia menghentikan beberapa taksi, tapi semua menolak mengantarkan korban ke Rumah Sakit. Mungkin keberatan mobilnya dibasahi darah korban yang mengucur deras.
Budi terpaksa mengambil tindakan kasar, ia menghentikan sebuah mobil, sembari menendang-nendang mobil tersebut, Budi memaksa pemilik mobil mengantarkan mereka ke rumah sakit. Si pemilik mobil tampak ketakutan tapi akhirnya mau mengantarkan mereka.
Sampai di Rumah Sakit, korban langsung masuk ke unit gawat darurat. Sementara Budi mengurus administrasi rumah sakit. Ia meninggalkan kartu identitasnya sebagai penjamin si korban. Seragam kerja Budi penuh dengan bercak darah. Padahal seragam itu cuma satu-satunya.
Kemudian ia menengok korban yang sedang ditangani dokter, si korban menyerahkan dompet, handphone dan kunci motor. Sebelum jatuh pingsan, ia berpesan agar menghubungi keluarga dan kantornya, katanya nama-namanya ada di dalam dompet. Budi segera menghubungi keluarga korban lalu menyerahkan barang-barang milik korban kepada satpam Rumah Sakit. Budi dan pemilik kendaraan yang mengantar segera kembali ke tempat kejadian, mereka lalu mengamankan motor milik korban dan melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian.
Sekitar satu jam kemudian Budi kembali ke kantor, ia meminta maaf kepada atasannya dan minta ijin sekali lagi untuk pulang mengganti seragamnya yang penuh bercak darah.
Setelah kejadian itu, berhari-hari Budi tidak nafsu makan, ia selalu membayangkan luka yang dialami korban perampokan tersebut. Ia juga berdoa semoga korban diberikan keselamatan. Meski harapan hidupnya tipis mengingat lukanya yang parah.
Delapan bulan berlalu, Budi sudah melupakan kejadian itu. Budi tengah termenung di ruang tunggu sebuah rumah sakit bersama istrinya. Istrinya baru saja melahirkan bayi laki-laki yang lucu, sayangnya bayi itu lahir prematur dan perlu penanganan kesehatan serius. Biaya perawatannya sendiri mencapai Rp.900.000 per hari. Sebagai pegawai kontrak yang bergaji satu juta rupiah per bulan, Budi benar-benar pusing keliling memikirkan biayanya. Semua uang tabungannya habis untuk biaya persalinan, sementara sakitnya bayi mereka benar-benar diluar dugaan.
Sudah tiga hari Budi ijin tidak masuk kantor menunggui anak istrinya di Rumah Sakit. Suatu malam, istrinya meminta Budi masuk kerja besok, kata istrinya siapa tahu besok ada rejeki.
Esoknya Budi masuk kerja, rekan-rekannya mengucapkan turut prihatin dan menyisihkan sedikit uang untuk membantu biaya perawatan. Kemudian saat makan siang, Satpam memberitahu Budi bahwa ia kedatangan tamu. Ia pikir ini lelucon, karena setahunya tidak ada orang yang tahu alamat kantornya. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu karena memang tidak pernah diajak.
Begitu ia keluar menyambut tamu tersebut, ia terperanjat, karena wajah tamu tersebut masih ia ingat. Tamu itu adalah orang yang menjadi korban perampokan delapan bulan lalu! Tangannya terlihat sudah sembuh meski menghasilkan banyak parutan luka.
Budi bertanya darimana dapat alamat kantornya, mereka bilang dapat dari istrinya di rumah.
Singkat cerita setelah ngobrol ngalor ngidul, mereka bermaksud memberikan tanda terima kasih berupa amplop. Budi sudah menebak bahwa amplop tersebut berisi uang. Tapi Budi serta merta menolak, karena saat itu ia ihklas menolong, lagi pula kejadian itu sudah lama berlalu. Tapi orang itu memaksa, ia menyelipkan ke saku baju dan segera pamit dan pergi. Budi tak kuasa menolak, akhirnya ia menerima juga pemberian itu.
Budi membuka amplop tersebut, Tuhan Maha Besar, katanya dalam hati, amplop itu berisi uang lima juta rupiah! Budi segera menghubungi istrinya, istrinya sambil berurai airmata mengucapkan rasa syukur berkali-kali atas kemurahan Tuhan.
Disaat mereka butuh uang untuk biaya perawatan anaknya, Budi mendapat limpahan rezeki yang tak terduga-duga. Sejak itu ia sadar ada kekuatan dibalik rasa ihklas memberi. Budi merasakan sendiri imbalannya.